Saturday, November 12, 2016

Ini Dia Taman Surawisesa Kawali - Sejarah Kawali Ciamis

CIAMIS - KAWALI - Koran Jabar, Berawal dari bukti sejarah menurut peninggalan dalam bentuk prasasti jaman dulu ( Naskah Kuno Batu Tulis Astana Gede ) tentang Taman Surawisesa tersebut. Menurut Hidayat, nama Surawisesa ada kaitannya dengan sejarah situs Astana Gede Kawali yang menjadi kebanggaan masyarakat Kecamatan Kawali, apalagi pembangunannya akan menghabiskan anggaran sekitar Rp5 milyar. “ Jadi, nama Surawisesa mengambil dari sejarah Astana Gede yang menjadi ikon daerah Kawali,” ujarnya. Dan saat kita melihat bukti


Pada catatan sejarah Astana Gede Kawali, diketahui bahwa Surawisesa merupakan nama istana Kerajaan Sunda pada masa pemerintahan Rahyang Niskala Wastu Kancana yang berpusat di Astana Gede Kawali.

Setelah mengumpulkan tokoh masyarakat dan budayawan guna menentukan nama RTH Alun-alun Kawali. Dari hasil musyawarah tersebut, terkumpul beberapa nama yang diusulkan oleh tokoh dan budayawan, demikian dikatakan Camat Kawali Hidayat Taufik, Jumat (13/11/2015)

“Setelah kembali dilakukan musyawarah, akhirnya para tokoh dan budayawan sepakat bahwa Surawisesa menjadi nama taman RTH Alun-alun Kawali,” katanya.

Sekilas sejarah Taman Surawisesa ini, di masa lalu pernah memiliki peran yang sangat penting di tatar Sunda karena sempat menjadi ibukota Kerajaan Sunda-Galuh.

Asal-usul Nama Kawali
Nama Kawali konon berkaitan dengan kisah Ciung Wanara maupun Kerajaan Galuh yang dimuat dalam sumber naskah maupun tradisi lisan masyarakat Galuh. Sumber naskah yang memuat cerita itu, antara lain Wawacan Sajarah Galuh.


Dalam naskah tersebut diceritakan bahwa Raja Bojong Galuh (palsu) yaitu Ki Bondan menyuruh seorang pandita sakti bernama Ki Ajar Sukaresi untuk menaksir bayi yang dikandung oleh istrinya, Nyai Ujung Sekarjingga, apakah laki-laki atau perempuan.


Padahal sebenarnya raja hendak menipu si pandita karena besarnya perut Nyai Ujung Sekarjingga bukan disebabkan karena sedang hamil, melainkan karena kuali yang ditaruh di dalamnya. Dan sang pandita kemudian menjawab bahwa anak yang sedang dikandung itu laki-laki.

Raja tentu saja tertawa.  Dia pun mengejek sang pandita sebagai seorang penipu. Namun ketika pakaian Nyai Ujung Sekarjingga dibuka, ternyata kuali yang dipasang di perutnya tidak ada dan ia benar-benar mengandung.

Sang Raja menjadi malu dan marah menyaksikan kejadian itu. Ki Ajar pun disuruh pulang, namun diam-diam ia memerintahkan patihnya untuk mengikuti dan membunuh sang pandita.

Sebenarnya yang terjadi Kuali pada perut Nyai Ujung Sekarjingga ditendang oleh kekuatan rohaniah Ki Ajar. Kuali itu kemudian jatuh di Kampung Selapanjang.  Karena peristiwa tersebut namanya kemudian diganti menjadi “Kawali”.

Adapun anak laki-laki Nyai Ujung Sekarjingga kemudian lahir dan diberi Ciung Wanara.

Konon, tempat jatuhnya kuali itu menjadi mata air dan kolam yang disebut “Balong Kawali” atau “Cikawali”. Saat ini Cikawali termasuk dalam lingkungan Situs Astana Gede Kawali.

Selanjutnya, Ki Ajar Sukaresi yang hendak pulang ke petapaannya di Gunung Padang diserang oleh utusan raja sehingga terluka parah.

Dengan tubuh penuh luka, sang pandita terus berjalan. Dalam perjalanannya tersebut, di suatu tempat lukanya mengeluarkan darah berwarna kuning. Tempat tersebut kemudian disebut “Cikoneng”, kini sebuah kota Kecamatan di Ciamis bagian barat.

Lukanya terus mengeluarkan darah sehingga membuat ki Ajar semakin lemah.  Di suatu tempat, ia jatuh dan tergolek di atas tanah. Tempat ia tergolek itu kemudian disebut “Cikedengan”.

Ia kemudian berjalan lagi, tetapi jatuh lagi dan mengeluarkan darah yang berwarna bening. Daerah itu kemudian dikenal dengan nama “Ciherang”. Akhirnya, sampailah Ajar Sukaresi di pertapaan di Gunung Padang dan meninggal.

Muncul Pada Abad XIV

Kawali diperkirakan muncul sebagai salah satu pusat kekuasan di Jawa Barat wilayah timur mulai abad ke-14 sebagai alternatif dari Galuh (Karangkamulyan) dan Saunggalah (Kuningan). Lokasi kota tersebut dinilai strategis, karena berada di tengah segitiga pusat-pusat kekuasaan di wilayah timur saat itu yaitu Galunggung, Saunggalah dan Galuh.

Bahkan tercatat dua orang Raja Sunda-Galuh dipusarakan di Winduraja (sekarang bertetangga desa dengan Kawali).Raja pertama yang diketahui bertahta di Kawali adalah Prabu Ajiguna Wisesa yang memerintah tahun 1333 – 1340.  Namun patut diduga, raja sebelumnya, yaitu Prabu Linga Dewata juga sudah berkedudukan di Kawali. Bisa disebut bahwa tahun 1333 – 1482 (saat Sri baduga memindahkan pusat pemerintahan ke Pakuan) adalah Jaman Kawali.

Nama Kawali disebut pada dua buah prasasti batu peninggalan Prabu Niskala Wastukancana yang tersimpan di situs Astana Gede Kawali. Prasasti tersebut menyebut “mangadeg di kuta Kawali” (bertahta di kota Kawali) dan “nu ngeusi bhagya Kawali” (yang mengisi Kawali dengan kebahagiaan).  Berikut bunyi kedua prasasti secara lengkap:


  • Prasasti Kawali 1:


00 nihan tanpa kawa- Li nu siya mulia tanpa bha- Gya parebu raja wastu Mangadeg di kuta kawa- Li nu mahayu na kadatuan Surawisesa nu margi sa- Kuliling bdayeuh nu najur sagala Desa aya ma nu pa(n) deuri pakena Gawe rahhay pakeun heubeul ja- Ya dina buana 00

(yang berada di kawali ini adalah yang mulia pertapa yang berbahagia Prabu Raja Wastu yang bertahta di Kawali, yang memperindah keraton Surawisesa, yang membuat parit (pertahanan) sekeliling ibu kota, yang mensejahterakan (memajukan pertanian) seluruh negeri. Semoga ada (mereka) yang kemudian membiasakan diri berbuat kebajikan agar lama berjaya di dunia).


  • Prasasti Kawali 2:

Aya ma nu ngeusi bhagya kawali, bari pakena kereta bener,
pakeun na (n) jeurna juritan.
"semoga ada penerus negeri kawali dengan kebahagiaan, sambil membiasakan diri membuat kesejahteraan sejati, agar tetep unggul dalam perang"
[semoga ada (mereka) yang kemudian mengisi (negeri) Kawali ini dengan kebahagiaan sambil membiasakan diri berbuat kesejahteraan sejati agar tetap unggul dalam perang].


  • Prasasti Kawali 3:

Ulah Botoh Bisi Kokoro
"janganlah kamu serakah nanti bisa sengsara"


Naskah Carita Ratu Pakuan yang ditulis oleh Kai Raga dari Srimanganti – Cikuray juga menyebut nama Kawali yang diistilah sebagai “dalem si pawindu hurip” atau keraton yang memberikan ketenangan hidup. Cuplikan dari Carita Ratu Pakuan tersebut, sebagai berikut:

Dicaritakeun Ngambetkasi
Kadeungeun sakamaruan
Bur payung agung nagawah tugu
Nu sahur manuk sabda tunggal
Nu deuk mulih ka Pakuan
Saundur ti dalem timur
Kadaton wetan buruhan
Si mahut putih gede manik
Maya datar ngaranna
Sunijalaya ngaranna
Dalem Sri Kencana Manik
Bumi ringit cipta ririyak
Di Sanghyang Pandan Larang
Dalem si Pawindu Hurip

Kawali sebagai pusat pemerintahan Sunda ditegaskan pula didalam Pustaka Nusantara II/2. Dalam naskah tersebut ditulis:

Katatwa pratista Sang Prabu Wastu Kancana haneng Surawisesa kadatwan. Pinaka kithagheng rajya Kawali wastanya. Ring usama nira mangadeg dumadi mahaprabu rikung juga

(Persemayaman Sang Prabu Wastu Kancana adalah keraton Surawisesa. Ibukota kerajaannya bernama Kawali. Pada masa sebelumnya, ayahnya pun bertahta sebagai maharaja di situ).

Melahirkan Raja-raja Besar
Dalam sejarahnya, Kawali telah melahirkan raja-raja besar yang memerintah tatar Sunda-Galuh. Mereka yaitu, Prabu Lingga Buana (Prabu Wangi), Niskala Wastu Kencana (Prabu Wangisutah) dan Jaya Dewata (Prabu Siliwangi atau Sribaduga Maharaja).



Prabu Lingga Buwana dalan Naskah Carita Pasundan disebut juga sebagai Prabu Maharaja.  Beliau gugur dalam peristiwa Bubat ketika mengantar putrinya Dyah Pitaloka menikah dengan Prabu Hayam Wuruk di Majapahit.  Keberaniannya mempertahankan kehormatan diri selalu tersimpan di hati orang Sunda sehingga ia dikenal dengan Prabu Wangi.

Isi dari Fragmen dalam naskah Carita Parahyangan adalah sebagai berikut:


Boga anak, Prebu Maharaja, lawasna jadi ratu tujuh taun, lantaran keuna ku musibat, Kabawa cilaka ku anakna, ngaran Tohaan, menta gede pameulina. Urang rea asalna indit ka Jawa, da embung boga salaki di Sunda. Heug wae perang di Majapahit.

Prabu Niskala Wastu Kancana adalah putera dari Prabu Lingga Buana. Ketika peristiwa Bubat terjadi ia baru berumur sembilan tahun sehingga tidak ikut rombongan Sunda ke Majapahit. Karena pewaris tahta masih belum cukup umur, sementara pemerintahan Galuh dipegang oleh Rahyang Bunisora, adik Prabu Linggabuwana.



Bunisora dikenal sebagai raja yang alim dan taat agama. Penulis Carita Parahyangan memberi gelar Satmata, yakni gelar keagamaan tingkat kelima dari tujuh tingkat keagaaman yang dianut penguasa Sunda waktu itu.

Kepemimpinannya yang bijak dan adil mampu membawa kerajaan Galuh melewati masa-masa yang sulit pasca gugurnya Prabu Linggabuwana beserta para pembesar kerajaan yang mengiringi perjalanan sang prabu ke Majapahit.

Dibawah bimbingan Bunisora, Niskala Wastu Kancana tumbuh menjadi raja bijaksana dan membawa Kerajaan Sunda-Galuh mencapai jaman keemasan. Masyarakat Sunda mengenangnya melalui ajaran atau nasehat yang ia berikan yang diabadikan pada prasasti Kawali yang dikenal dengan Wangsit Niskala Wastukancana. Ia dikenal juga dengan dengan sebutan Prabu Wangisutah.

Keagungan Prabu Niskala Wastu Kancana diceritakan dalam Fragmen Carita Parahyangan ( diatas tadi ) sebagai berikut:

Aya deui putra Prebu, kasohor ngaranna, nya eta Prebu Niskalawastu kancana, nu tilem di Nusalarang gunung Wanakusuma. Lawasna jadi ratu saratus opat taun, lantaran hade ngajalankeun agama, nagara gemah ripah.

Sanajan umurna ngora keneh, tingkah lakuna seperti nu geus rea luangna, lantaran ratu eleh ku satmata, nurut ka nu ngasuh, Hiang Bunisora, nu hilang di Gegeromas. Batara Guru di Jampang.
Sakitu nu diturut ku nu ngereh lemah cai.
Batara guru di Jampang teh, nya eta nyieun makuta Sanghiang Pake, waktu nu boga hak diangkat jadi ratu.

Beunang kuru cileuh kentel peujit ngabakti ka dewata. Nu dituladna oge makuta anggoan Sahiang Indra. Sakitu, sugan aya nu dek nurutan. Enya eta lampah nu hilang ka Nusalarang, daek eleh ku satmata. Mana dina jaman eta mah daek eleh ku nu ngasuh.
Mana sesepuh kampung ngeunah dahar, sang resi tengtrem dina ngajalankeun palaturan karesianana ngamalkeun purbatisti purbajati. Dukun-dukun kalawan tengtrem ngayakeun perjangjian-perjangjian make aturan anu patali jeung kahirupan, ngabagi-bagi leuweung jeung sakurilingna, ku nu leutik boh kunu ngede moal aya karewelanana, para bajo ngarasa aman lalayaran nurutkeun palaturan ratu.
Cai, cahaya, angin, langit, taneuh ngarasa senang aya dina genggaman pangayom jagat.
Ngukuhan angger-angger raja, ngadeg di sanghiang linggawesi, puasa, muja taya wates wangenna.
Sang Wiku kalawan ajen ngajalankeun angger-angger dewa, ngamalkeun sanghiang Watangageung. Ku lantaran kayakinan ngecagkeun kalungguhanana teh.
Selanjutnya adalah Jayadewata yang setelah dinobatkan sebagai raja Sunda disebut Sri Baduga Maharaja.  Meski bertahta di Pakuan Pajajaran, beliau lahir dan besar di Kawali.

Jayadewata adalah tokoh yang paling banyak dikisahkan masyarakat dalam bermacam versi dengan nama Prabu Siliwangi. Ketika muda ia lebih dikenal dengan sebutan Sang Pamanah Rasa, putera Dewa Niskala atau cucu Niskala Wastukancana.


Jayadewata mewarisi tahta Galuh dari ayahnya Prabu Dewa Niskala. Ia juga mewarisi tahta Kerajaan Sunda dari mertuanya Prabu Susuk Tunggal. Gelar Sri Baduga Maharaja ia peroleh karena menjadi penguasa di dua kerajaan utama di Jawa Barat, yakni Sunda dengan Galuh.


Kisah Jayadewata di tulis didalam Fragmen Carita Parahyangan adalah sebagai berikut:

Diganti ku Prebu, putra raja pituin, nya eta Sang Ratu Rajadewata, nu hilang di Rancamaya, lilana jadi ratu tilupuluhsalapan taun.
Ku lantaran ngajalankeun pamarentahanana ngukuhan purbatisti purbajati, mana henteu kadatangan boh ku musuh badag, boh ku musuh lemes. Tengtrem ayem Beulah Kaler, Kidul, Kulon jeung Wetan, lantaran rasa aman.
Teu ngarasa aman soteh mun lakirabi dikalangan jalma rea, di lantarankeun ku ngalanggar Sanghiang Siksa.
Sayang, pemerintah Kabupaten Ciamis nampaknya belum mengelaborasi ketiga tokoh tersebut sebagai identitas Ciamis.  Sebagai contoh kecil, kecuali Siliwangi, tidak ada nama jalan tokoh-tokoh besar tersebut di Ciamis kota.

Hingga akhirnya, Proyek pembangunan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Alun-alun Kawali Kabupaten Ciamis, saat ini masih dalam tahapan pengerjaan, namun tokoh masyarakat dan budayawan setempat sudah memberi nama RTH tersebut dengan Tama Surawisesa. ***RED

No comments:
Write komentar

Powered by Blogger.

Sponsor

Video Of Day

Flickr Images